Sayangnya, hingga saat ini, kesusastraan Indonesia dapat dikatakan terus saja miskin buku-buku teori kritik sastra. Buku-buku teori yang ada, kebanyakan merupakan buku terbitan lama dengan pembicaraan yang tidak lagi mutakhir. Buku-buku terbitan lama itu pun benar-benar sulit didapat karena jumlahnya yang sedikit dan hanya dimiliki oleh kalangan terbatas. Tertarik pada hal ini, saya pun bermaksud memaparkan sedikit hal mengenai salah satu artikel kritik sastra yang telah saya baca. Artikel ini berjudul “Criticism as a Secondary Art”, dan ditulis oleh Murray Krieger. Di akhir tulisan saya ini, saya berharap tulisan ini dapat membuka sedikit cakrawala pembaca mengenai apa itu kritik sastra dan bagaimana kedudukan kritik sastra di dunia.
“Criticism as a Secondary Art” dapat ditemukan dalam kumpulan artikel kritik sastra What Is Criticism yang dieditori oleh Paul Hernadi. Artikel ini dimulai dengan pembahasan mengenai studi kritik sastra yang sejak dulu dipahami sebagai sebuah bentuk kerja interpretasi (menjelaskan maksud) untuk karya imajinatif (atau karya sastra) ternyata sudah mulai bergeser fungsinya dengan tuntutan menjadikan kritik sastra sebagai sebuah bentuk karya sastra sekelas dengan seni yang lain. Kerja ini dimaksudkan untuk membuat karya tersebut disadari keberadaannya oleh kebudayaannya (making the available to their culture), mendapat tempat, dan diapresiasi dalam bentuk penggolongan karya tersebut pada satu klasifikasi tertentu. Semua kegiatan ini, pada masa lalu dimaksudkan selalu untuk menjaga selera sastra masyarakat (supervise a culture’s literary taste). Akan tetapi, dalam perkembangannya sepuluh tahun terakhir, dunia kritik sastra pun semakin giat dan kritik sastra pun mulai dipandang sebagai sebuah bentuk kesenian tersendiri.
Kritik sastra bertujuan mengungkap keaslian sebuah karya. Hal ini penting, karena sejak zaman dulu, banyak fenomena-fenomena di mana karya yang dihasilkan sebenarnya merupakan sebuah bentuk penceritaan kembali dari satu karya yang telah hadir lebih dahulu (already told). Dalam hal ini, kritik sastra berfungsi sebagai penengah antara karya asli dan kebudayaan pendukungnya. Kritik sastra juga dikatakan harus mampu memperlihatkan dengan jelas pada masyarakat luas makna yang terkandung dalam suatu karya. Kritik juga bisa mendebat pendapat yang telah ada—baik yang dibuat oleh perseorangan, maupun hasil kerja tim. Kritik sastra juga dimaksudkan untuk menjelaskan pada masyarakat bahwa karya sastra adalah hasil interpretasi pengarang terhadap suatu fenomena sehingga terkadang berbeda dan “mengacuhkan” kenyataan yang diakui masyarakat, untuk hal ini karya sastra perlu dilindungi karena karya tersebut perlu dipandang terlepas dari pengarangnya sebagai konstruksi yang otonom/berdiri sendiri.
Murray Krieger juga menekankan bahwa kritik sastra Amerika yang banyak dikatakan memimpin, sebenarnya, sebagian besar dengan jelas menekankan kritik pada satu ekstrem idola tertentu (push them explicity to such idolatrous extremes). Sebagai contoh, tulisan Matthew Arnold yang dikatakan Krieger telah sangat baik membedakan antara kritik dan puisi, ternyata secara luas mengarahkan pembahasannya pada keutamaan puisi dan berupaya meletakkan kritik di bawah dengan puisi hingga secara mendasar mengaburkan pembedaan di antara keduanya (essentially blurring the distinction between them). Hal ini mengakibatkan kritik selalu menduduki kelas “di bawah” karya sastra (dalam hal ini puisi) hingga kritik pun sulit mendapatkan kebebasan dan tidak bisa dipandang memiliki fungsi yang otonom.
Dalam pembahasan selanjutnya, Krieger menekankan pentingnya memandang kritik sastra sebagai sebuah seni yang utama (criticism, no less than what we usually think of as “imaginative literature”, is a primary art, and the writing of criticism a primary act). Krieger juga mengatakan kemungkinan adanya penjelasan kembali atas pengkaburan batas antara kesusastraan dan kritik sastra akan semakin sulit dilakukan jika pekerjaan-pekerjaan kritik yang ada sekarang hanya “melihat” sesuatu yang tampak dipermukaan (cover what only appears) dunia sastra, atau hanya bereaksi pada karya-karya yang telah mendapat tanggapan atau komentar sebelumnya.
Tidak benar bahwa kritik sastra dipandang sebagai karya “kelas dua” (secondary art) karena jika kritik dipandang sebagai sebuah karya yang “mengulang” karya lain, kita juga perlu juga memberi pengertian ini pada apa yang disebut kesusastraan itu sendiri—karena esensi dari kesusastraan adalah bentuk tiruan dari kenyataan. Dengan berpegang pada keunggulan, niscaya pada akhirnya kita juga harus meletakkan karya sastra pada kelas yang sama dengan kritik karena kritik yang tidak baik dan tidak memiliki keunggulan, pasti berasal dari tidak adanya keunggulan kesusastraan dari karya itu sendiri (no literal primacy in discourse at all).
Krieger juga menyarankan tiga cara yang dapat dipilih untuk meletakkan kritik sastra pada keutamaan yang sama dengan yang ada pada karya sastra. Yang pertama, ketika karya sastra ternyata hanya sekadar meniru tanpa memberikan refleksi lain, kritik sastra dapat dipandang sebagai karya utama karena kritik mampu menulis ulang (layaknya karya sastra) sebuah objek dalam terminologi atau pengertiannya sendiri (criticism is now have always been rewriting the object in the critic’s own terms). Cara kedua, adalah memandang kritik memiliki keunggulan baik sebagai seni maupun bentuk tindak koreksi. Ketiga, memandang kritik sejajar dengan puisi. Jika satu puisi dianggap “bersaing” dengan karya sebelumnya, kritik sastra dapat dipandang bersaing dengan subjek pembicaraannya dan kritik lain yang sudah pula membiacarakan objek tersebut (poets are seen as competing with their predecessors no more than critics compete with their poet-subject and with earlier critics of those poets).
Dalam artikel ini, Krieger juga membahas sedikit mengenai konflik tradisi kritik sastra berpengaruh poststrukturalisme yang dialami Anglo-American. Konflik ini tampaknya membawa banyak perubahan teori dalam keusastraan elit mereka. Pada akhirnya, Krieger pun menyimpulkan kritik sastra; dipandang perlu untuk “membersihkan” ranah-ranah yang diperlukan; menjelaskan hal-hal yang tidak dimuat dalam karya sastra—betapapun buruknya; dan dilakukan tanpa melupakan posisinya (must play, I said, but the critic must know his place).
Walaupun dalam hal tata bahasa dan pilihan kata dapat dikatakan terlalu rumit, secara keseluruhan, tulisan Murray Krieger “Criticism as a Secondary Art” ini dapat dikatakan cukup baik dan membantu kita, pembacanya, mengerti bagaimana bentuk kritik sastra yang baik, kedudukan kritik sastra yang terus berkembang, dan sedikit kilasan perkembangan kritik sastra Amerika.
Dan ini profil dari Murary Krieger
Murray Krieger

Birthplace: Newark, NJ
Died: 5-Aug-2000
Location of death: Newport Beach, CA
Cause of death: unspecified
Gender: Male
Race or Ethnicity: White
Sexual orientation: Straight
Occupation: Critic
Nationality: United States
Executive summary: The Play and Place of Criticism
Military service: US Army (1942-46, India)
Wife: Joan Krieger (d. 2002, one daughter, one son)
Daughter: Catherine
Son: Eliot
University: Rutgers University (1940-42)
University: MA, University of Chicago (1948)
University: PhD, Ohio State University (1952)
Professor: University of Minnesota (1952-58)
Professor: University of Illinois (1958-63)
Professor: Literary Criticism, University of Iowa (1963-66)
Professor: University of California at Irvine (1966-)
Author of books:
The New Apologists for Poetry (1956)
The Tragic Vision (1960)
The Play and Place of Criticism (1967)
The Classic Vision (1971)
Visions of Extremity in Modern Literature (1973)
Theory of Criticism: A Tradition and Its System (1976)
Poetic Presence and Illusion (1979)
Arts on the Level (1981)
Words About Words About Words: Theory, Criticism, and the Literary Text (1988)
A Reopening of Closure: Organicism Against Itself (1989)
Ekphrasis: The Illusion of the Natural Sign (1992)
The Ideological Imperative: Repression and Resistance in Recent American Theory (1993)
The Institution of Theory (1994)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar